Minggu, 25 Mei 2008

Kunjungan Luar Negeri

(Dari Kiri): Irnawati(kls V TMI Madinatunnajah Cipuatat), Usth. Masyitoh, Anis Fikri Muthmainnah(Kls V TMI), Usth. Nur Azizah, Ust. Rohayatun, Usth Baiq Masla'ah, Usth. Nana Rusydianah (istri Pimpinan Pesantren Madinatunnajah Ciputat), Istri Syeikh Sya'ban, Syeikh SYa'ban, Ust. KH. M. Agus Abdul Ghofur M. Pd (pimpinan pesantren Madinatunajah Ciputat), Ust. Saefullah, Supriyanto (kls IV TMI), Mas Lingga M Chung (kls IV TMI

Syeikh Sya'ban sedang memastikan Asatidzah dan para santri Madinatunnajah Ciputat, bahwa mereka akan berangkat dalam ktu yang tidak lama ke Mesir untuk belajar atas Beasiswa












Jumat, 23 Mei 2008

Kader Daerah



Santri baru Kader Kupang NTT bersama Ust. Amardi (pembimbing konsulat), KH. Agus Abdul Ghofur, M. Pd (pimpinan Pondok Pesantren Madinatunajah Ciputat), Drs. KH. Mahrus Amin (Pendiri Pesantren Darunnajah Group) dan H. Makarim (MUI Kupang).

Kamis, 22 Mei 2008

SEJARAH SINGKAT

Blogger Merupakan Alumni Pndok Pesantren Madinatunnajah Jombang Ciputat Tangerang yang termasuk santri yang mendapapat Beasiswa BEST MAN (Bea Santri Madinatunnajajh). Masuk TMI Madianatunnajah tahun 2001 di kelas IV. Dengan ketertinggalannya, akhirnya dapat menyesuaikan dengan teman-temannya yang sudah 3 tahun lebih lama belajar di Madinatunnajah

Di Sela-sela Rapat Tahuna Dewan Guru PP Madinatunnajah Ciputat Tangerang di Puncak Resort


(dari kiri Belakang) Usth. Mulida Nur Hamida, USth. Fitria Anggraeni, Ust. Muplihudin, Ust. Ahmad Fahrurrozi Dahlan (pake topi), Ust Subhi Japar

Rabu, 21 Mei 2008

PRINSIP HIDUP ALA MATEMATIKA

Kebaikan atau hal-hal yang baik biasa kita sebut hal positif (+) dan Kejahatan atau hal-hal yang jelek biasa kita sebut hal negatif (-). Selain itu, Pahala, balasan atau penghargaan biasa disebut dan dirasa baik dan merupakan kebaikan (+). Sedangkan Siksaan, balasan yang jelek, sangsi, punishment biasa disebut dan dirasa dan terasa buruk dan keburukan (-).
Kalau kita melihat operas hitung Matematika perlu kita renungkan hal berikut ini:
  1. (+) : (+) = (+), artinya Kebaikan/ketaatan (+) diberikan (:) penghargaan (+), maka ia akan berbuat baik lagi bahkan menambah kebaikannya (+).
  2. (+) : (-) = (-), artinya Kebaikan/ketaatan (+) diberikan (:) hukuman (-), maka ia akan merasa apa yang dilakukannya sia sia tidak ada artinya, maka ia cenderung berbuat kesalahan (relatif).
  3. (-) : (+) = (-), artinya Kejahatan/pelanggaran (-) diberikan (:) penghargaan (+), maka ia akan berbuat kesalahan lagi bahkan menambah kesalahannya karena kesalahannya dianggap benar (+). (relatif)
  4. (-) : (-) = (+), artinya Kejahatan/pelanggaran (-) diberikan (:) hukuman (-), maka ketika ia akan berbuat akan berpikir terlebih dahulu karena jika ia melakukan kesalahan, hukuman menantinya maka ia cenderung akan meperbaiki sikapnya (+).

Selasa, 20 Mei 2008

PENDIDIKAN PESANTREN

1. Pengertian Pondok Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe-dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27).
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena, 2005: 72).
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel, 1).
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar.
2. Tipologi Pondok Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwasanya ada beberapa pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :
1. Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
2. Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101)
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)
3. Dinamika Pondok Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga penidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti :
1. Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981, kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta orang pada tahun 1985.
2. Kemampuan pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir dirinya ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat. (Khozin,2006:149)
Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan, tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam memperebutkan peserta didik. Seperti Dhofir mengatakan (1992), bahwa dominasi pesantren di dunia pendidikan mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an. Salah satu faktornya, adalah lapangan pekerjaaan “modern” mulai terbuka bagi warga Indonesia yang mendapat latihan di sekolah-sekolah umum. Akan tetapi setelah proklamasi kemerdekaan pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan nasional, dengan membangun sekolah-sekolah umum dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Maka dari pada itu, apapun motifnya perbincangan seputar dinamika pesantren memang harus diakui mempunyai dampak yang besar contohnya semakin dituntut dengan adanya teknologi yang canggih pesantrenpun tidak ketinggalan zaman untuk selalu mengimbangi dari setiap persoalan-persoalan yang terkait dengan pendidikan maupun sistem di dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari sisi mengaji ke mengkaji. Itupun merupakan sebuah bukti konkrit di dalam pesantren itu sendiri, bahwa mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Karenanya pesantren tidak akan pernah mengalami statis, selama dari setiap unsur-unsur pesantren tersebut bisa menyikapi dan merespon secara baik, apa yang paling aktual. (Mas’ud dkk, 2002:72-73)
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.
Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1. Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2. System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4. Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan.
Meskipun dipesantren, santri lebih mengutamakan capaian substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.
Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke 13 M.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.
Dipesantren, lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan , maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
Walhasil bahwa pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai :
1. Lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik.
2. Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3. Sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).

Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz.
Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di atas, kemudian muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan bijaksana.
B. Visi dan Misi Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional Dalam perspektif
Pendidikan Islam Indonesia

Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa kemasa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat pelbagai visi, misi, karakter dan kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang kurang mencerdaskan dan cenderung memunculkan ketergantungan yang terus menerus. Visi dan kecenderungan tersebut antara lain :
Pertama, karakterinya yang khas dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air (bukan menara api). Menurut Nur Cholis Madjid, pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian indonesia . Nah sebagai indigenous, Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat setali mata uang, atau harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah setiap musim dengan idzin Allah Swt.
Kedua, Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup. Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase bagi masyarakat dalam perubahan yang bagaimanapun.
Ketiga, Adanya hubungan lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga bersifat batiniyah.
Keempat, Model pengasramahan. Di pesantren , terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
Kelima, Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang, karena ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)
Dengan berbagai visi serta kecenderungan baru itulah, kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri, sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
Demikian juga kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service, dll. Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian (Self reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren --menurut Azyumardi Azra.-- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
Kendati bersifat evolusioner, dengan langkah yang mantap pesantren -- khususnya di Jawa-- terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang konstan, dari tahun ke tahun mereka mampu menarik minat masyarakat stake holder untuk berbondong bondong memasukkan putra putrinya ke lembaga tersebut, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa, bahkan dari luar Negeri, seperti malaysia dan Brunai Darus Salam. Hal tersebut selain disebabkan faktor internal, dimana pesantren terus melakukan pembenahan dan konsolidasi diri, juga disebabkan faktor eksternal dimana lembaga pendidikan modern tidak mampu secara nyata melahirkan manusia yang integratif , mandiri dan berakhlakul karimah. Padahal yang paling dibutuhkan dalam dunia yang semakin menua ini tidak saja manusia yang siap pakai, yang lebih penting justru yang siap hidup, Untuk hal yang terakhir, peran alumni pesantren tidak dapat diragukan.
Dalam penelitiannya tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren dengan santri sejumlah 1.392.159 orang. Sebagai perbandingan saja pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren bertambah menjadi 37 000 buah dengan sekitar 4 juta santri. Angka angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi yang menakjubkan, meski berada dibawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Fenomina Mutahir yang dapat diamati adalah bahwa pesantren terus mengembangkan ekspansinya hingga batas yang boleh disebut strategis, misalnya :
1. Secara fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenominal, sehingga tidak tepat lagi sepenuhnya diasosiasikan dengan lembaga yang berfasilitas seadanya, kumuh, sesak dan tidak heginis, tetapi seiring dengan perkembangan ekonomi umat islam, saat ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki gedung megah dan mentereng.
2. Begitu juga dengan domaiannya, ia tidak saja sebagai rural based institution, tetapi juga menjadi lembaga pendidikan urban. Ini bisa dilihat dari kemunculan sejumlah pesantren kota, pesantren pembangunan, pesantren mahasiswa, pesantren tehnologi, pesantren gender, pesantren industri, pesantren lingkungan, pesantren nara pidana yang notabene berdomisili dikota kota metpropolitan. Seperti : PP Darun Najah, PP Assiddiqiyah di Jakarta, PP Alkautsar dan PP Darul Arafah di Medan, PP Darul Hikmah di Pekan baru, Al Hikam di Malang, Al Jauhar dan Nurul Islam di Jember dan banyak lagi ditempat lain seperti : Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dll.
3. Selain itu saat ini pesantren tidak melulu identik dengan kelembagaan islam khas Jawa, tetapi mulai di adopsi oleh wilayah wilayah lain, seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dsb.
4. Sistem pengasramahan yang di pesantren dikenal dengan istilah santri mukim, saat ini ditiru oleh lembaga lembaga pendidikan umum, modern dan unggulan dengan istilah boarding school atau boarding system.
Di lingkungan Perguruan tinggi sudah dirintis beberapa model yang -- meski malu malu-- sesungguhnya meniru model pesantren, seperti : Pondok pesabtren Hj Nuriyah sobron di Univ. Muhammadiyah Surakarta, Pesantren Kampus di UIS Malang, Pesantren Mahasiswa di UNTAN Pontianak, dan banyak contoh contoh lain.
Tidak sedikit Pesantren yang secara cemerlang berhasil memberdayakan masyarakat disekitarnya, tidak saja dalam bidang pendidikan, tetapi juga bidang ekonomi, tehnologi dan ekologi. Pesantren Annuqoyah Guluk guluk Madura, misalnya, telah berhasil mengangkat desanya dari desa swadaya pada tahun 1978 menjadi desa swakarya pada tahun 1979 dan menjadi desa swasembada pada tahun 1981. Perubahan besar ini terjadi setelah pesantren tersebut mendirikan “Biro Pengabdian Masyarakat” yang mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1981.
Pesantren lain yang juga mendapatkan penghargaan serupa adalah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan yang berhasil membuka cabang cabang pendidikan di 55 kecamatan dan ratusan desa, Pesantren ini juga berhasil memberangkatkan 354 KK untuk mengikuti kegiatan transimigrasi dengan bekal skill yang memadai, sehingga mengantarkannya mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1986.
Demikian juga dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Pesantren Maslakhul Huda margoyoso Pati, Pesantren Suralaya Tasikmalaya dan juga beberapa pesantren lainnya, yang masing masing mendapat penghargaan Kalpataru karena kontribusinya yang sangat signifikan dalam pembangunan masyarakat .
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para Kiai pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimatnya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pesantren, tidak tergantung pada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya. Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana dan prasarana yang mudah, namun para Kiai dan santrinya tetap mencerminkan prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional tampil dengan sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini, ternyata tidak menyudutkan para Kiai dan santri untuk melaksanakan program-program pesantren yang telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren tempat untuk melatih diri (riyadhoh) dengan penuh keprihatinan, asalkan tidak menghalamgi mereka untuk menuntut ilmu.
Dengan demikian jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat Islam. (Sulthon dan Ridho, 2006: 159-160).
Untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu kualitas out put pondok pesantren itu tergantung bagaimana suatu program yang sudah di tentukan oleh sosok pengasuh. Dalam artian terealisasinya visi, misi dan tujuan pondok pesantren terletak pada kebijakn seorang kiai. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang dimaksud dengan visi, misi dan tujuan pondok pesantren sebagaimana di bawah ini :
1. Adanya kemampuan SDM pengelola atau pengasuh
2. Adanya strategi yang baik demi tercapainya suatu tujuan
3. Adanya kebijaksanaan pemerintah, baik melalui perundang-undangan, surat keputusan mentri atau pejabat pemerintah dan sebagainya untuk mendukung program-program yang sudah ada di pondok pesantren.
4. Adanya intervensi masyarakat (sosio-cultur)
5. Dapat menyesuaikan dengan adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi Hal ini juga dikemukakan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk, sesungguhnya tujuan pendidikan pesantren tergantung atau ditentukan oleh kebijakan kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut. Maka dari pada itu perkembangan dan perubahan pesantren yang cukup berperan aktif serta sebagai pedoman di dalam proses pendidikan untuk tercapainya tujuan instruksional selalu menggunakan kurikulum. (2002:85)

Puisi Berantai

PEMBURU CINTA

Ku tak tahu apa yang terjadi
Dibilang bahagia aku gelisah
Di bilang gelisah tapi aku senang
Wajahmu selalu dating walau
tak pernah kubayangkan
Menghantui hari hariku
Wajahmu sehalus sutra, sebeninhg permata dan secerah purnama.
Tiap detik jarum jam dan
Tiap detang jantungku wajahmu selalu hadir
Hidungmu yang mancung,
dagu yang indah, alis mata, mbak...
pipimu yang lembut
tak kurelakan seorangpun menyentuh
matamu laksana bola pingpong
walaupun sebelumnya aku rau
untuk mengungkapkan perasaan ini,
tapi bahagia setelah kuterima
jawabanmu. Dan sekarang kamu sah menjadi
pacarku makasih atas semuanya.
Tak akan pernah
Melupakan dan mengecewakannmu


KAMAR MANDI

Buang air besar adalah kebutuhan setiap orang
Yang tak mungkin ditinggalkan
Agar buang air besar lancer,
Makanlan makanan yang
mengandung banyak serat dan
vitamin
Begitulah saran dokter
Di setiap septictank, kubersihkan tiap minggu. Aku sikat dan aku gosok dengan
Sikat kamar mandi yang kusimpan
Dipelapaon.
Tapi aku paling cape kalau
Septictank mampet.
Maka aku kuras dan kualirkan ke
Selokan agar tidak meluap.
Kusedot semua yang ada di septictank bersama tukang sedot wc.
Walaupun sulit, ku ambil sampah dari
Genangan kotoran.
Setelah selesai penyedotan, l
egalah hati
Tukang sedot wc keberi air minum dan
Kuberi makanan.
Terima kasih



MEUBEL

Palu adalah sebagian dari peralatanku
Untuk memukul
Paku dan pahat merupakan lat lain
Yang digunakan untuk
membuat suatu konstruksi
meteran dan penyiku alat penentu baik tidaknya suatu karya
kumulai ambil kayu lalu kugergaji
kayu yang sudah dipotong dan dipaku, agar rekat aku olesi lem dan kutambah dempul di
Bagian yang akan aku cat.
Pengecatan bisa dilakukan dengan menggunakan kuas atau dengan menyemprot
Lemari salah satu dari buah karyaku
Lalau aku bakar
Potongan kayu bekas. Lalu aku pasang gembok pada
Pintu supaya lebih rapih
Itulah kerjaanku